Di Indonesia,
masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat
perhatian pemerintah. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah
ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lain melihatnya dari segi
moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang
telah mapan.
Menurut Soerjono
Soekanto kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak
sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan
juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut.[1]
Dalam
kehidupan sehari-hari, tidak dapat dipungkiri kita sebagai makhluk sosial tidak
dapat hidup sendiri. Namun nilai persahabatan di masyarakat sudah mulai luntur.
Anak-anak semakin menjadi pemilih dalam persahabatan. Mereka sudah mulai
memilih teman berdasarkan kesamaan minat dan jenis kelamin. Pemilihan teman ini
berujung dengan terbentuknya sebuah geng kecil. Geng itu tentu ada yang positif
dan ada yang negatif. Yang positif, jika geng itu sendiri punya orientasi
kegiatan kreatif dan produktif, seperti mengembangkan hobi dibidang tertentu,
maka virus kreatif itu bisa menghasilkan pertumbuhan yang sehat. Problem
pemilihan teman di masa dini inilah yang membuat anak-anak jaman sekarang
menjadi terlalu egois dan tidak mau bergaul dengan yang lain.
Menurut
Fabiola, Dalam memilih teman sekelompok, ada 3 faktor yang mempengaruhi. Pertama, ada kesamaan minat. misal
anak suka film kartun Cars maka dia akan mencari teman-teman yang punya
kesenangan sama. Anak-anak akan senang bila teman-temannya menjadikan film
favoritnya itu sebagai bahan pembicaraan. Kedua, ada sesuatu yang dikagumi anak
dari teman-teman dalam kelompoknya. Umpama, ada yang dianggapnya keren sebagai
trendsetter, punya sesuatu yang dikagumi, pintar, lucu, dan sebagainya. Faktor
ketiga adalah persamaan jenis kelamin. Biasanya anak-anak memilih
teman-temannya sesuai dengan jenis kelamin yang sama, anak perempuan dengan
anak perempuan, anak laki-laki dengan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan
anak-anak sudah memiliki kesadaran akan identitas diri seperti aku perempuan
dan aku laki-laki.[2]
Hal
ini dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin maju. Teknologi yang
membuat mereka pandai sekaligus membuat mereka menjadi anak-anak yang egois.
Teknologi membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah menyebabkan anak-anak
lebih tergantung dengan alat-alat canggih seperti komputer dan konsol.
Kepemilikan dari gadget-gadget tersebut membuat anak-anak hanya mau berteman
dengan sesama yang memiliki gadget serupa.
Manfaat
dari pertemanan berkelompok ini yaitu dapat mengenal beragam karakteristik
teman yang berbeda, memupuk keterampilan berinteraksi sosial. Namun juga ada
pengaruh buruknya. Anak-anak dapat meniru perlilaku buruk teman-teman
se-gengnya. Hal ini bisa memicu timbunya bullying
atau tindak kekerasan dalam pertemanan kelompok itu sendiri maupun pada orang
lain diluar kelompoknya.
Untuk
mencegah dampak negatif dari pertemanan kelompok ini, penulis mencoba membuat film
pendek yang berjudul “Cito-cito Dirman” ditujukan untuk anak-anak guna sebagai
pembelajaran nilai-nilai persahabatan. Pembuatan film dengan tema sosial dengan
mengangkat kehidupan keluarga kecil yang hidup serba keterbatasan, dan mampu
memberi paradigma (pola pikir) kepada masyarakat terhadap kemiskinan tidak dari
segi negatif saja. Berdasarkan ide awal tersebut, akan berkembang menjadi
sebuah cerita yang menjadi klimaks dengan alur-alur yang diharapkan dapat
menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya seperti kebahagiaan,
tanggung jawab, kejujuran, dan keikhlasan dalam lingkungan keluarga tak mampu
sekalipun.
Film pendek “Cito-cito Dirman” mengajak target audience untuk mengikuti sebuah cerita
dengan pesan moral yang baik tentang seorang anak bernama Dirman yang mempunyai
cita-cita mulia yaitu ingin menjadi seorang guru. Walaupun Dirman menyadari
bahwa dia berasal dari keluarga miskin, yang selalu dihina dan dicaci, tapi hal
itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar, berusaha dan bekerja,
dan pada akhirnya mampu menyadarkan temannya yang egois, menjadi sadar akan
sifat buruknya.
Post a Comment